"Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa... Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia.."
Alunan lirih suara bocah terdengar dalam kamar kakakku, Asri. Ada perasaan sedih, tersayat dan juga... takut! Suara merdu itu bukanlah suara Andien keponakanku yang kerap menyanyikan itu semasa hidup tapi suara Asri yang tenggelam dalam duka setelah kematian Andien karena kecelakaan 6 bulan yang lalu.
Asri sangat depresi, kejadian naas mengguncang jiwanya sampai Asri tak bisa lagi berpijak pada realitas. Asri lebih hanyut dalam dunia kesedihannya, tidak lagi bicara dengan Pras suaminya karena Asri tetap menganggap Pras adalah penyebab kejadian itu. Asri lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya, berbicara dengan dirinya yang bisa jadi Andien lewat boneka kesayangan Andien. Asri menemukan dunianya sendiri, dunia dimana Asri bisa selalu dekat dengan Andien.
Aku masuk ke kamarnya yang nampak temaram. Kulihat Asri sedang duduk diatas ranjang yang berserakan boneka milik Andien.
" mas Pras baca syahrintulworld lho " |
"Mbak, makan dulu ya?"
Asri berhenti menyisir boneka berambut panjang yang duduk membelakanginya,lalu menatapku dan tersenyum, senyuman yang lama hilang menghiasi wajahnya.
"Nanti saja Ras. Kamu liat deh, Andien bilang ingin rambutnya disisir biar cantik. Gimana? Andien cantik kan?"
Aku tersenyum antara prihatin dan takut.
"Cantik. Mbak, Andien ingin mbak makan dulu, nanti baru mbak main sama Andien lagi"
"Tidak! Mama ngga boleh makan, mama sedang main-main dengan Andien. Pergi kamu!" Suara Asri berubah jadi suara Andien sambil menggerakan boneka itu menatap kearahku.
Asri tersenyum, "Tuh kan, Andien masih ingin sama mama. Iya, mama disini sayang"
"Mbak, mbak harus makan. Sudah dua hari mbak Asri belum makan apa-apa, nanti sakit" Suaraku parau.
"Tante keluar dari sini, keluar!" Kembali suara Asri berubah jadi suara Andien.
"Andien, nanti mama sakit kalau ngga boleh makan, kalau sakit nanti mama ngga bisa main sama Andien lho" Aku membujuk sambil membelai rambut boneka itu.
"Tidak! Tante pergi! Andien sama papa saja sana! Papa lebih sayang sama tante! Keluar!" Hardik Asri yang bersuara Andien, suaranya meninggi.
Aku terhenyak, Asri senyum menatapku. Aku tidak berdaya seketika. Aku keluar kamar menuju dapur. Disana ada mas Pras sedang duduk sambil minum kopi.
"Gimana Laras? Asri tidak mau makan lagi?"
Aku menggeleng sambil mengelap air mata, "Ngga mas. Sepertinya, mbak Asri tau hubungan kita selama ini"
Mas Pras menghela nafas, melangkah lalu memeluk dan membelaiku.
"Udah... Udah, tenang Ras"
"Mas, aku merasa bersalah dengan apa yang kita lakukan ini. Bagaimana kalau papa mama sampai mencium hubungan ini mas?"
Mas Pras tidak memberi jawaban, fikirannya buntu seperti halnya fikiranku. Rasa berdosa dan bersalah selalu menghantuiku.
Mas Pras pun mungkin merasakan itu karena aku merasakan juga mas Pras masih mencintai Asri. Disatu sisi aku bahagia bisa mendapatkan bagian cinta dan perhatiannya tapi disisi lain aku sudah menghianati kakak kandungku sendiri. Sejak peristiwa itu, sejak Asri terputus hubungan dari dunia mas Pras, memang akulah yang menjadi semakin dekat dengan mas Pras. Jauh sebelum mas Pras dan Asri menikah, aku sudah menyukainya tapi kala itu mas Pras lebih menjatuhkan cintanya pada Asri, aku harus mengiklaskan.
Malam ini aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata, gelisah. Tidak seperti biasanya. Ini mungkin karena perkataan Asri yang tadi berubah sebagai 'Andien'.
Aku melangkah keluar kamar, kucari mas Pras diruang kerjanya, kosong. Aku menuju ke loteng, sepi. Aku menuju ke kamar Asri, kubuka pintunya. Mataku terbeliak. Aku menjerit sekuat-kuatnya saat kulihat di atas ranjang mas Pras dan Asri terbujur tak bergerak. Aku menghambur ke arah mereka. Dari mulut mereka keluar busa. Aku menggoyang-goyang tubuh Asri dan mas Pras, tetap mereka tak bereaksi.
Dibelakang Laras, 'Andien' duduk sambil tersenyum dan berbisik lirih "Mamaaa... Papaaa.."
Ambulance lepas kendali ditengah derasnya hujan, meluncur ke bawah dan terhenti setelah menabrak. Suara benturan dan pecahan kaca terdengar keras. Kepalaku terbentur sangat keras. Semua jadi gelap. Aku tidak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri. Aku buka mata perlahan, aku menggerakan tubuh yang terasa semuanya sakit. Kuraba dahiku yang basah karena darah. Suasana gelap, hanya terdengar bunyi gerimis yang menimpa badan ambulance.
Aku merogoh tas yang masih menempel di bahuku dan mengambil HP, kunyalakan senternya, aku teriak dengan suara tertahan saat kulihat jasad ibu ternyata berada diatas tubuhku.
"Pak Anwar, pak... Pak Samsul!" Aku memanggil-manggil sopir ambulance dan temannya yang duduk didepan, tidak ada jawaban.
Dengan sisa tenaga yang ada, kudorong jasad ibu, tetap tidak berhasil. Sepertinya kakiku terjepit sesuatu entah kursi atau keranda.
"Toloooooong... Toloooooongg"
Jeritanku percuma. Aku serasa terdampar entah dimana, jauh di tempat asing yang lembab, gelap dan menggerikan. Ketakutan menyergapku. Aku terdiam. Nafasku kian memburu. Jasad ibu semakin terasa berat diatasku. Mataku terpejam. Bernafas tanpa bergerak. Hujan kembali datang menggantikan gerimis. Suaranya seakan ribuan monster berjatuhan menteror nyaliku yang kian melemah. Aku menangis, takut.
Aku merasakan ada yang bergerak diatas tubuhku. Aku buka mata, kusorotkan senter HP ke arah jasad ibuku. Ya Tuhan!! Wajah ibu mengarah tepat ke arahku, wajah yang pucat, mata terpejam. Tubuhku menggigil tiada kendali, aku teriak meminta tolong. Tanganku menggedor-gedor badan ambulance. Nihil, tiada pertolongan yang datang.
"Ibuuuu... " Rintihku
Kulihat mata ibu tiba-tiba terbuka lebar, tajam menatapku. Tatapan mengerikan, dengan ceruk mata menghitam, sorot mata menyiratkan kemarahan. Mulutnya perlahan bergerak terbuka, mengeluarkan suara seperti suara orang yang dicekik, parau. Aku tidak bisa lagi berteriak, mulutku yang terbuka lebar tanpa mengeluarkan suara dan mataku terbeliak tanpa berkedip.
"Maaa...tiii... Maaa..tiii... Kauuu" Pelan suara itu keluar dari mulut ibu.
Aku menggerakan tubuh dengan liar. Jasad berwujud pocong itu bergerak merayap diatas tubuhku, mendekatkan wajahnya tepat diatas wajahku dengan dengus nafas penuh aroma busuk. Tubuhku kian melemah dan kembali tak sadarkan diri.
Aku terbangun disebuah ruangan. Kulihat ada ayah tersenyum dengan kesedihan.
"Mir, kamu sudah sadar?" Tanya ayah.
"Saya dimana Yah?"
"Kamu di rumah sakit Mir, syukurlah kamu selamat" Kata Ayah sambil membelaiku lalu memelukku.
Aku menangis dalam pelukan ayah, menangis penuh sesal dan ketakutan dengan sebuah rahasia yang ada dalam hatiku bahwa akulah yang sudah membunuh ibu, ibu tiriku yang diam-diam sudah selingkuh dengan suamiku...
1 hari sebelumnya. Malam itu,ibu terbaring diatas ranjang di sebuah ruangan rumah sakit karena kecelakaan. Aku berdiri disampingnya, menatap penuh kebencian. Kenapa tidak mati saja saat tadi kecelakaan wanita ini? Bisikku dalam hati. Rasa benci dan dendam memenuhi hatiku terhadap wanita yang diam-diam berselingkuh dengan suamiku, menghianatiku dan ayah. Dosa yang tak terampuni! Kuambil sapu tangan, lalu kubekap wajahnya, kutekan dengan keras, tubuhnya bergerak perlahan, matanya terbuka sedikit seolah memohon ampun, tapi tekadku bulat untuk menghabisi nyawanya...
Kematian ibu sepertinya jadi pukulan bagi ayah. Entah bagi suamiku, yang pasti perselingkuhan mereka tidak akan pernah aku buka demi rumah tanggaku dan anak-anakku dan juga ayah. Untuk menutupi perbuatanku, aku berpura-pura menangis sedih dan 1 ambulance dengan jasad ibu untuk mengantarkan pulang...
****************************
Salam Selingkuh
- Syahrintul69 -
Post a Comment