NEKROFILIA

Tubuhnya terbaring kaku didalam kamar mayat bersuhu dingin dengan kulit memucat, mayat wanita muda yang baru datang karena mati bunuh diri ini masih tersisa kecantikannya semasa hidup. Aku menatapnya, hatiku berdebar saat mataku tertuju pada gundukan dadanya. Wanita cantik yang belum tentu akan mau denganku jika masih hidup, tapi sekarang saat terbujur tanpa nyawa, tak akan dia berkutik saat aku mencumbunya bahkan menyetubuhinya sekalipun.

     Dalam seminggu ini sudah 3x aku menyetubuhi mayat wanita, tentu saat aku jaga malam sendirian. Entah kenapa, aku sejak bekerja sebagai sekuriti kamar mayat menjadi semakin bernafsu jika ada mayat wanita muda. Mungkin karena selama ini hasrat seksual tidak tersalurkan dengan semestinya? Ataukah selama ini banyak sekali penolakan dari wanita karena secara fisik aku tidak menarik? Ataukah seleraku terhadap wanita yang terlalu tinggi?
                              

     Gerimis turun diluar sana, rumah sakit juga sudah nampak sepi apalagi untuk lokasi sekitar kamar mayat. Tanganku meraba payudaranya, dia tersenyum, mungkin senyumnya hanya dalam penglihatanku saja, dalam fantasiku seolah mayat itu mempersilahkan aku untuk mengagahinya. Tanganku meremas dua buah daging kembarnya yang ranum lalu aku melumat bibirnya, terasa kaku, hambar tapi lama-lama gairahku kian meninggi.

     Aku melepas baju dan celanaku, lalu kusingkap kain yang menutupinya, kini kulihat sesosok mayat telanjang dengan tubuh yang sangat indah dan mulus menggairahkan jiwaku.

     "Aku akan membuatmu merasa nikmat sayang.. Ohhhh" Desahku didekatnya lalu melumat telinganya.

     Malam yang indah dan memuaskan. Aku lampiaskan seluruh hasrat seksualku, gairah lelakiku terpuaskan bertubi-tubi. Aku merasakan terlempar ke langit tujuh saat menyetubuhinya... Dia pasrah bahkan aku merasa dia memberikan 'perlawanan' di dalam kobaran libidoku.

     Pagi hari. Alisku menyatu, mataku menyipit memperhatikan pantulan diriku di cermin, terlihat samar, seperti tembus. Aku mendekatkan wajah ke cermin, mencoba meyakinkan dengan apa yang aku lihat. Aku sentuh dengan ujung jariku dan aku masih bisa menyentuhnya, tapi perlahan kulihat pantulan diriku semakin memudar, menipis dan...hilang sama sekali, entah terbang kemana...

     Aku teriak sekuatnya, berkali-kali aku teriak, beberapa orang masuk ke toilet, mereka mencari-cari.

     "Aku disini, Kalian lihat aku tidak? Aku disini!!! Lihat aku!" Aku kian histeris, panik dan menangis, mereka sama sekali tidak melihatku, hanya bisa mendengar suaraku saja. Kemanakah tubuhku? Hilangkah terbawa aura kematian jasad-jasad yang sudah aku setubuhi selama ini?

******

ANGKOT BANG JONO

     "Jombang... Jombang... Jombaangg" Suara Bang jono mempromosikan angkotnya ke orang yang lewat di samping pasar Ciputat.

     Malam ini masih lumayan banyak angkot jurusan Ciputat - Jombang yang ngetem. Daripada dirumah dijutekin istrinya, si Eneng, mendingan narik angkot sekalian, lumayan dapat tambahan duit buat beli susu anak, pikir Bang Jono. Didalam angkotnya cuma ada 2 penumpang. Karena sudah lama ngetem, akhirnya Bang Jono menjalankan angkotnya dengan harapan ada penumpang nanti dijalan. Setelah sekitar 2 KM jalan, 2 penumpang itu turun, angkot kosong. Bang Jono agak kesal juga tidak dapat lagi penumpang tapi daripada balik ke Ciputat lagi artinya harus antri dengan sopir lain, mending sekalian ke Jombang, pikir Bang Jono.

     Saat angkot melewati tikungan yang dekat kuburan, sorot lampu angkot menangkap sosok wanita berambut panjang berdiri dengan kepala menunduk dibawah pohon kamboja. Tangannya melambai ke arah angkot Bang Jono. Angkot berhenti, wanita itu naik, lalu angkot jalan lagi. Bang Jono melirik wanita yang duduk di pojok belakang, kepalanya menunduk, rambutnya yang tergerai, sesekali tertiup angin menutupi seluruh wajahnya. Bang Jono jadi teringat desas desus dari rekan sopir angkot bahwa di tikungan kuburan itu kerap ada penampakan bahkan Mas Boril saat narik malam-malam ada penumpang wanita menggendong bayi dan saat Mas Boril mendengar si penumpang itu menyuruhnya berhenti, dia menoleh ternyata angkot sudah kosong!

     Bang Jono mulai dihinggapi rasa takut. Bulu kuduk bang Jono berdiri, kulitnya jadi terasa beku. Suasana angker sangat mendukung apalagi malam jumat. Lagi bang Jono melirik ke belakang lewat kaca spion, wanita berbaju panjang warna hitam itu masih saja menunduk, diam seperti patung.

     "Neng, turunnya dimane?" Bang Jono memberanikan diri bertanya, tidak ada reaksi sama sekali.

     "Neng, situ mau turun dimane?" Kembali bang Jono bertanya, suaranya lebih keras. Masih tidak ada reaksi, tubuh wanita itu hanya sesekali bergerak karena goncangan angkot.

     "Wah, gawat nih! Jurig beneran ini, apes banget dah gua!" Pikir bang Jono dengan perasaan antara gelisah, takut dan penasaran.

      Lalu setelah menghimpun keberanian, kembali bang Jono bertanya, suara kini makin keras, "Neeeeeeng, elu mau turun dimaneeeeee???!"

     "Eh bang, bawel amat sih ngagetin eike? Eike turun Jombang cyin! Mawar naik kereta di stasiun Jombang, rempong deh elu bang! Kagak usah khawatir deh, eike bisa kok bayar dua kali lipet, malah situ bisa eike beli sekalian ga pake diskonan! Ganggu orang cantik tidur aja dueeeeeh! Capcus ahhhhh! Awas ganggu lagi, eike sedot deh!"

     Bang Jono melongo antara lega dan geli. Penumpangnya ... Banci!

********
     
MAUT YANG TERULANG
    

      Ari terbangun tengah malam karena mendengar suara gaduh dan orang merintih. Memberanikan diri, Ari keluar kamar dan melangkah perlahan menuruni anak tangga yang melingkar bagai ular raksasa.

     "Papaaa... Mamaa...??" Panggil Ari dengan suara pelan.

     Tidak ada jawaban, hanya suara seseorang merintih. Ari menghentikan langkah dipertengahan tangga. Kepalanya melongok kebawah, Ari melihat Papa terkapar bermandikan darah dilantai, sementara Mamanya berdiri didekatnya memegang pisau!

     "Papaaaaaaa!" Ari berteriak melihat pemandangan mengerikan itu.

     Mama mendongak keatas, tersenyum melihat Ari. "Kemarilah nak"

     Ari berlari menuju kamar adiknya,Ira dan cepat-cepat membangunkan Ira.

     "Ira bangun, cepat bangun!!" Ari menarik tangan Ira dan masuk kedalam kolong ranjangnya. Ira ketakutan, suara tangisnya mulai terdengar, Ari buru-buru membekap mulut Ira yang meronta, Ari tidak tahu sudah membekap hidung Ira sampai sesak bernafas.

     "Jangan nangis, diem!"

     Suara pintu kamar dibuka perlahan menimbulkan bunyi mengerikan bergaung dalam kamar itu. Sepasang kaki mama melangkah masuk.

     "Ari..Ira..dimana kalian nak?" Lembut suara mama tapi bagi Ari suara itu sangat menakutkan.

     Mama melangkah ke arah lemari lalu membuka. Tidak ada Ari dan Ira. Mama melangkah ke arah ranjang lalu berhenti. Ari sesekali memejamkan mata, tubuhnya menggigil ketakutan.

     "Disini kau rupanya nak?"

     Wajah pucat mama muncul dengan senyuman dingin tepat dihadapan Ari. Mama menyeringai mengerikan.

     "Mamaaa, jangan Ma! Jangan!"

     "Keluar nak, ayo keluar.."

     Ari menggeleng, "Nggak mau!"

     Tangan Ari dicengkeram Mama. Ari melawan. Tangan Ari lepas dari tubuh Ira yang sudah tidak bergerak. Tubuh Ari diseret keluar dari kolong.

     4 jam kemudian.

     Suara sirine ambulance meraung didepan rumah Ari. Terjadi kesibukan di rumah besar bergaya bangunan zaman Belanda itu. Polisi sedang memeriksa tubuh Papanya Ari yang terbujur di lantai bawah sementara di lantai atas, polisi sedang sibuk memeriksa mayat Ari yang lehernya terkoyak dan tubuh Ira yang terkurap tak bernyawa dibawah ranjang.

     Mama menangis histeris didalam mobil polisi dengan tangan diborgol. Dibalik tirai jendela kamar atas nampak sosok wanita misterius bergaun merah berdiri menatap kearah Mama... Maut akan selalu terulang disini.

******

TUMBAL

     Maghrib baru saja berlalu. Aku sudah merencanakan pencurian dirumah tetanggaku pak Jarwo, seorang dalang yang kaya raya. Karena aku sudah tahu keadaan sekitar dan mereka sekeluarga sedang pulang ke Jogja, tidaklah sulit untuk bisa memasukinya. Aku cukup hafal situasinya.

     Didalam rumah aku menyalakan senter kecil sebagai penerangan seadanya. Pandanganku menyapu apa yang ada disitu,  aku cukup takjub melihat isinya, banyak barang antik, lukisan bernuansa etnik termasuk lukisan-lukisan orang berpakaian khas keraton dan berbagai macam patung. Yang menarik perhatianku patung-patung yang melekat pada tembok, nampak hidup. Tidak ingin berlama-lama, aku mulai bergerilya mencari barang yang sekiranya mudah dibawa dan bernilai tinggi. Sasaranku perhiasan bu Jarwo. Aku mencari kamar bu Jarwo di lantai atas, setelah masuk, aku mencari perhiasan. Terlalu mudah menemukan, aneh sekali, pikirku.

     Aku tersenyum puas dengan hasil yang kudapat, secepatnya aku memasukkan ke tas lalu melangkah keluar kamar. Pendengaranku menangkap suara gamelan, ah mungkin aku salah dengar. Kupasang kembali kupingku, terdengar lagi suara gamelan bahkan diiringi suara-suara lainnya seperti sebuah pagelaran wayang. Aku mengendap turun, di lantai bawah sepi dan gelap, hanya sinar masuk dari lampu jalan diluar. Sementara suara gamelan sudah tidak terdengar lagi. Tiba-tiba aku merasa merinding.

     Aku melintasi ruang tengah yang cukup luas seperti sebuah aula ke arah jendela dimana tadi aku masuk, tiba-tiba lampu menyala. Aku terdiam, kaget! Saat itu keanehan terjadi, diruangan itu tampak ada orang-orang berpakaian khas keraton sedang duduk dilantai menyaksikan seorang wanita sedang menari dengan diiringi para pengiring termasuk sinden yang menyanyi dengan merdunya tapi membuatku semakin ketakutan.

     Seorang pria tua menatapku, lalu dia berhenti memainkan gamelan. Seketika semua berhenti. Aku melangkah mundur. Sang penari melangkah mendekatiku, matanya mencorong menyiratkan kemarahan.

     "Sopo kowe wani ganggu?"

     Aku tak bisa berkata apa-apa, tubuhku lemas seketika, entah kekuatan apa yang keluar dari sorot mata dan suaranya. Aku terjatuh duduk dilantai, pandanganku mulai kabur dan aku tak ingat apa-apa lagi.

     Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, saat aku membuka mata, tubuhku terasa sangat kaku terpasung seperti lekat menempel pada tembok. Ya, tubuhku melekat ditembok. Mataku melirik ke kanan dan kiri, kulihat patung-patung yang berjejer melekat ditembok mengeluarkan suara tangis dan rintihan. Didepanku, terlihat sebuah pertunjukan tari dari seorang wanita dengan gerakan halus diiringi gamelan dan suara merdu sinden. Penari itu menatapku sambil tersenyum...
Aku tak dapat mencerna arti senyuman itu...


Salam Horor

- Syahrintul -
Labels:

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.