Pras menatapku penuh dengan desakan agar aku mengatakan kebenaran yang selama ini dia cari. 10 tahun sudah berlalu, selama itu pula kukubur dalam-dalam rahasia rasa sakit hatiku akan kenyataan. Aku sudah berhasil mengubur masa laluku, aku sudah membuka lembaran hidup dengan suami dan anakku sekarang ini, namun pertemuan tak sengaja antara aku dan Pras setelah 10 tahun ini kembali mengoyak hatiku.

     "Dewi, jujurlah, dimana anak kita? Aku tau sekarang kau sudah punya kehidupan sendiri, akupun juga. Aku tidak akan pernah merusak keluargamu, tapi tolong kamu terus terang, dimana anak kita?"
                     

     Aku menggeleng, bimbang, galau dan bingung. Ya, aku bingung bagaimana menjelaskannya, bingung karena perjuanganku untuk mempertahankan semuanya kalah dibawah kekuasaan orang tuaku.

     "Aku nggak tau Pras,sungguh. Aku selama ini sudah melupakan, walau terkadang hal itu kufikirkan"

     "Kamu pasti bohong Dewi. Apa anak kita sudah meninggal?"

     "Aku tidak tahu.." Suaraku bergetar, entah ada kekuatan apa tiba-tiba aku berbalik ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan anakku.

     "Kenapa bisa begitu?" Tegas suara Pras, ada suatu rasa heran dan emosi.

     "Papa Mama mengambil anak kita Pras! Aku tidak kuasa mencegahnya tapi aku sudah berusaha tapi aku ngga bisa! Kemana aja kamu saat itu? Aku berjuang sendirian hadapi semua itu, aku harus menderita!" Protesku dengan suara meninggi dan air mata berderai.

    "Kamu fikir aku tidak berusaha menemuimu Dew? Kamu fikir aku pasrah dan diam tidak memperjuangkan? Dewi, tolong, tolong sangat katakan yang sebenarnya, aku ingin tau bagaimana anak kita!"

     Aku menggeleng, tak ada kata-kata yang keluar lagi. Semakin aku terpojok semakin aku merasa sangat berdosa terhadap anakku sendiri yang entah ada dimana sekarang dan tak ada sedikitpun usaha untuk mencarinya hanya karena aku tak ingin merusak rumah tanggaku sekarang yang sudah bahagia.Bukan, bukan hanya itu, aku sudah pernah menanyakan ke mama tapi mama dengan teguhnya tidak pernah tergerak sedikitpun.

     "Ma, saya ingin tau gimana anak saya Ma, tolong katakan Ma, saya janji hanya ingin tau" Kataku memohon malam itu setelah pulang bertemu dengan Pras.

     "Jangan pernah kamu berani mempertanyakan itu Dewi, jangan harap Mama akan mengatakan, Mama sudah bersumpah sampai Mati tidak akan pernah sedikitpun buka mulut soal itu, sampai kamu bersujud bahkan nangis darah, Mama tetap akan diam!" Hardik Mama ditengah ratapan Dewi.

     "Buat apa kamu menanyakan itu lagi kalau hanya akan membuatmu semakin menderita? Kamu sudah hidup bahagia dengan kehidupanmu sekarang, untuk apa Dewi kamu mengusik masa lalu yang nyaris menghancurkan martabat keluarga kita, mencoreng nama baik Papa dan Mama?"

     Tegas sekali suara Mama dan lagi-lagi Dewi tak berkutik, seperti waktu dulu sebelumnya saat Dewi mempertanyakan tentang anaknya.

     Dewi dan Pras saat remaja adalah sepasang kekasih, karena status sosial keluarga Dewi lebih tinggi, orang tua Dewi dengan tegas menolak hubungan mereka. Apa mau dikata, sebuah kisah cinta bergulir penuh tragedi, Dewi hamil diluar nikah. Saat keluarga tahu, Dewi dikurung didalam rumahnya, bahkan sang Mama kerap mencekoki Dewi dengan jamu-jamuan agar keguguran. Tak ada sedikitpun celah bagi Dewi dan Pras untuk bertemu. Saat Pras dan keluarganya datang untuk melamar Dewi, hanyalah penghinaan yang didapat pada malam itu.

     "Daripada Dewi menikah denganmu, lebih baik saya mati dan tidak akan pernah sedikitpun akan merestui! Jadi, cepat sekarang tinggalkan rumah ini, dan kamu harus sadar siapa kamu ini, jangan berlagak merasa tanggung jawab jadi seenaknya mau melamar Dewi, kamu harus bercermin! Dewi sekarang sudah di luar negeri dan tidak akan kembali dalam waktu dekat dan perlu kamu ingat, tidak akan Dewi menghubungiku karena saya bersumpah kalau kalian masih berhubungan, saya lebih baik mati!"

     "Cukup! Jangan seenaknya menghina anak saya!" Hardik ibu Pras terpancing emosi.

     "Saya tidak hanya menghina anakmu, tapi saya juga menghina keluarga anakmu juga! Jadi, sekarang angkat kaki kalian dari sini!"

     "Tidak perlu kamu usirpun,kami akan pergi dan ingat, kesombonganmu akan kamu bayar akhirnya!"

******

     Aku mulai banyak memikirkan anakku, anak yang tidak pernah sedikitpun aku peluk, anak yang bertahun-tahun aku tangisi sebelum akhirnya tangisku terhenti setelah aku menikah dengan Bram dan mempunyai anak dari hasil perkawinanku. Aku bahagia dengan Bram, aku bisa melupakan Pras dan masa laluku, walau kadang ada semacam mimpi mengerikan kala aku teringat bagaimana Mama dengan congkaknya memisahkan aku dan bayiku waktu aku selepas melahirkan.

     "Maaaaa, dimana bayiku maaaaa..dimana??" Rintihku yang masih lemah terbaring di rumah sakit.

     "Kamu tidak usah memikirkan anakmu Dewi, biarlah dia kelak jalani kehidupan sendiri. Setelah ini, kamu harus ke Australia, oom kamu disana sementara yang akan mengurusmu"

     Jerit tangisku sama sekali tidak bisa sejengkalpun merubah keteguhkan Mama. Akhirnya aku dikirim ke Australia untuk kuliah disana dan akhirnya aku bertemu Bram lalu menikah, punya anak yang lucu sebagai pelengkap kebahagian aku dan Bram, lalu setelah menetap disana selama 8 tahun akhirnya kita kembali dan menetap di Indonesia.

     Pertemuan kembali dengan Pras merubah kehidupanku walau sebenarnya selimut duka justru kian ketat membelitku tapi ada suatu semangat yang mengusik tentang jejak lama kita. Cinta kah bersemi kembali? Aku tidak berfikir sejauh itu karena rasa itu sudah jelas dan tegas terkubur dengan berdirinya rumah tanggaku dan Pras pun demikian sudah ada istri dan 2 anak, tentunya bayangan masa lalu akan cintanya padaku sudah tergerus oleh waktu.

     Beberapa kali secara diam-diam aku dan Pras bertemu, sekedar makan siang bersama, tapi lebih membahas ke arah anak kita yang 'hilang' entah dimana. Mulut Mama terkunci rapat seperti sumpahnya, bahkan Papa sudah membawa rahasianya sampai ke dalam kubur. Aku mungkin manusia terbodoh dan paling terkutuk dan terlemah, semua perlakuan Mama dan Papa selalu aku mengalah sampai soal darah daging yang dengan tega dipisahkan denganku pun aku mengalah. Aku sangat bodoh! Tapi tidak untuk kali ini, sekalipun Mama tidak merobah pendiriannya, aku dan Pras tetap melacak keberadaan anak kita, tak kenal lelah, sampai beberapa panti asuhan coba kami datangi untuk mengorek informasi walo hasilnya nihil.

     Sore itu aku terfikir dengan mbok Marirah, pembantuku yang sudah tidak bekerja disitu lagi sejak lama, bahkan aku tidak tahu kapan mbok Marirah tidak bekerja lagi di keluargaku. Naluriku berusaha tajam untuk sekedar ingin tahu keberadaan mbok Marirah, tapi dimana? Aku tidak pernah tahu darimana asal pembantuku. Aku menghampiri pak Supri yang sedang duduk di teras rumah, sekedar menanyakan soal mbok Marirah, karena pak Supri bekerja sudah sejak aku SMP.
                         

     Pak Supri menceritakan keadaan mbok Minah, kebetulan pak Supri dan mbok Minah satu kampung dari Kebumen.

     "Pak Supri, mbok Minah di kampung anaknya berapa?"

     "Oh anaknya sih dua, perempuan semua,sudah menikah lama malahan, lebih tua dari mbak Dewi"

     "Kalau cucu mbok Minah?"

     "Cucunya sih empat, yang satu... Emm anak pupon"

     "Apa itu anak pupon?"

     "Maksudnya ngasuh anak orang tuh mbak"

     "Umur berapa? Anak siapa pak?"

     "Sekitar sembilan tahun atau sepuluh, lupa saya mbak, sudah lama saya ngga pulang Kebumen, kan keluarga saya sudah ngga ada di Kebumen, jadi saya lama ngga ketemu mbok Marirah. Soal anak siapa, emmm ngga tau ya mbak"

     Otakku merumus secara cepat, memikirkan cucu mbok Marirah itu. Apakah mbok Marirah orang yang diserahkan anakku oleh Mama untuk merawatnya?

     "Pak Supri punya nomor telpon mbok Marirah atau anaknya?"

     "Ngga punya mbak, kalau alamat sih punya kan kita tetanggaan dulunya"

*****

     Pagi itu aku dan Pras menginjakkan kaki di kota Kebumen, kota yang sangat asing bagi kami. Saatnya aku dan Pras mencari alamat rumah mbok Marirah di desa Krakal. Kepergianku ke Kebumen atas izin Bram, aku beralasan ingin ketemu teman lama yang pindah ke Kebumen, sedang Pras izin ke isterinya ada tugas ke luar kota. Kami menempuh perjalanan ke Kebumen dengan mobil Pras.

     Sekitar 1 jam setelah aku dan Pras mencari rumah mbok Marirah, akhirnya ketemu juga. Aku dan Pras merasa sudah seperti orang 'gila' yang melakukan hal ini karena sudah sangat putus asa mencari anak kami, sampai-sampai menempuh perjalanan ke Kebumen yang belum pasti jawabannya, bahkan 'gila' nya lagi status kita masing-masih sudah berkeluarga.

     "Mbok Marirah??" Panggilku saat aku melihat seorang wanita berumur sekitar 60an tahun duduk dibangku depan rumahnya sedang memberi makan ayam.

    "Inggih, kulo mbok Marirah, sampenyan sinten? Wonten perlu nopo nggih?"

     "Mbok, ini saya Dewi. Ingat ngga mbok? Dewi putrinya bu Shinta"

     Mbok Marirah mengamati wajahku dengan seksama. Wajahnya melukiskan antara pangling dan kekagetan.

     "Mbak Dewi???"

     Setelah aku, Pras dan mbok Marirah duduk di teras sambil ngobrol dan minum kopi, akhirnya aku menanyakan tentang keberadaan anakku. Mbok Marirah nampak kaget dan bingung. Dari ekspresinya aku bisa menangkap ada sesuatu. Setelah aku desak, akhirnya mbok Marirah menceritakan hal sebenarnya bahwa Mama menyerahkan bayiku ke mbok Marirah agar membawanya pergi ke kampungnya dan mbok Marirah secara rutin dikirimi uang oleh Mama.

     Aku menangis dalam pelukan Pras, kutumpahkan segala emosi dan kesedihan yang selama ini aku pendam.
Bodohnya aku dari dulu tak terfikirkan untuk mencari kesini, atau apakah aku memang tidak cukup berusaha untuk mencari karena sudah cukup bahagia dengan suami dan anakku selama ini?

     "Mbok, dimana anak kami?" Tanya Pras.

     "Ada mas Pras, sebentar"

     Lalu mbok Marirah berdiri, " Slameeeeeeet, cepet menggeneh, ana sing goleti kowe Met"

     Tubuhku menggigil, aku sudah tak sabar ingin memeluk anakku. Aku melihat ada seorang anak laki-laki berlari lari menuju ke arah kami dari arah samping rumah, seorang anak yang keadaan fisiknya memprihatinkan, cara berlarinya tidak normal dan mulutnya tertawa riang, membawa boneka. Semakin menggigil aku saat anak itu mendekati dan kian dekat.

     "Mbok..." Suaraku bergetar.

     "Nuwun sewu mbak Dewi, Slamet anak mbak Dewi ini pancen mboten seperti bocah-bocah lainnya"

     Pras memelukku dari belakang saat aku berdiri tepat didepan anak bernama Slamet ini. Diakah anakku? Diakkah darah dagingku yang sudah dipisahkan sejak lahir. Ya Tuhan!! Jahatnya aku selama ini tidak berusaha sekuat tenaga mencari anak sediri? Jadi selama ini Slamet berkebutuhan khusus? Aku sangat jahat, tidak adil dan terkutuk telah berbahagia selama ini tapi ... Tapi ternyata anakku ini???

     "Ya Tuhaaaan! Anakkuuuuuuuu!!"

     Aku menghamburkan diri ke Slamet, aku peluk erat, kuciumi wajahnya, kurengkuh sekuat tenaga. Aku menangis sekuat-kuatnya, menyalahkan dan mengutuk diri sendiri. Pras memelukku dan Slamet, Pras menangis. Tubuhku dan Pras terguncang karena tangisan, entah tangisan sedih atau bahagia ....


Salam Manis

- Syahrintul -
Labels:

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.