Fadly membuka diary berwarna ungu milik Siti. Baris demi baris untaian kata dari keluh kesah Siti dibacanya. Menusuk terasa sampai ke dalam hati Fadly. Tak terasa air matanya menetes tiada bisa dicegah.
 Bibirnya terbuka dan bergetar saat semakin dalam Fadly mengekor kalimat yang mempertanyakan tentang dirinya, kalimat tentang hati Siti yang tersayat tiada belas kasihan ataupun sejuta derita yang Siti tanggung sendiri. Fadly mengutuk dan menghakimi diri sendiri atas apa yang sudah terjadi, atas keputusan yang telah diambil...
   

------------------------------
---------------------------

     3 tahun sudah pernikahanku. Semula semua terasa nampak indah. 2 tahun pertama aku dan mas Fadly hidup  bersama dalam dunia perkawinan tak ada sedikitpun kerikil yang menyebar di jalan yang kita lalui, namun menginjak usia 3 tahun pernikahan, semua mulai berubah secara perlahan tapi pasti.

     Semula berawal ketika dokter memvonis aku menderita penyakit yang cukup parah dan berimbas terhadam rahimku. Neraka dan kiamat seakan datang bertamu tanpa aku siap menyambutnya. Aku ingin membahagiakan sang imamku, aku ingin selalu tersenyum untuk suamiku, aku ingin saat kesakitan menderaku, aku ada disisinya.
Ya Allah, secepat inilah KAU renggut manisnya hidupku dengan sang imamku?

     Deritaku mulai datang satu demi satu, kini aku bagaikan disambar petir bertubi-tubi kala hari itu ayah dan ibu mertuaku datang dari Jogja ke rumahku. Aku dan mas Fadly duduk bagaikan 2 siswa yang diinterogasi guru saat ketahuan membolos, kita duduk bersebelahan dan dihadapan kita ayah dan ibu mertuaku duduk seakan sebagai juri yang akan mengeksekusi suatu perkara, tanpa mempedulikan perasaanku.

     "Siti, kedatangan Ibu kesini tentu ndak hanya sekedar datang, kowe pasti tau itu kan?" Kata Ibu memulai percakapan.

     "Inggih Bu..." Jawabku sudah tak menentu perasaan, sudah menduga sedikit apa yang akan dibicarakan.

     "Begini Siti, Fadly itu anak satu satunya Ibu, penerus trah Mangkudimedjo, Nah Ibu dan Bapak sudah tau apa masalah yang sudah terjadi dalam rumah tangga kalian dan kita harap Siti mengerti apa yang kita maksud bukan?" Suara Ibu nampak halus tapi tegas!

     "Maksud Ibu bagaimana?"

      Suaranya terdengar bergetar, Aku rasa mas Fadly pun bisa merasakan kegundahanku karena mas Fadly saat itu juga langsung meremas tanganku seakan memberikan suatu kekuatan.

     "Langsung saja yo, Bapak sama Ibu ingin tau, bagaimana kalau seandainya Fadly menikah lagi? Nuwun sewu saja Siti, kowe tentu sudah bisa menyadari tho ndak bakal bisa punya anak? Sedangkan Fadly sudah seharusnya meneruskan trah kita. Jadi, Ibu harap kowe bisa memutuskan, apa mau diteruskan atau ndak rumah tangga kalian?"

     "Ibu..."

     "Mengko yo cah bagus," Ibu memotong kata-kata mas Fadly yang makin ketat menggegam tanganku. Lalu Ibu meneruskan, "Ibu sama Bapak sudah lama ingin kamu punya anak, itu saja. Jadi kowe juga kudu bisa menentukan sikap dari sekarang yo Le"

     Aku lemas. Dunia rasanya runtuh. Aku sangat berharap mas Fadly menolaknya, demi Aku, demi rumah tangga sakinah kita.

     "Mas... " Kataku sambil menatap mas Fadly yang terdiam, entah apa yang sekarang ada dalam dibenak fikirannya.

     "Terus terang yo Siti, kita sudah ada calon buat Fadly, jadi Ibu sarankan kowe bisa memutuskan juga sekarang, apa mau dimadu atau memilih cerei? Ibu ndak mau maksa opo sing arep jadi pilihanmu sekarang"

     "Bu... Biarlah mas Fadly yang memutuskan, mas Fadly adalah imam saya, apa yang mas Fadly katakan, saya akan menuruti"

     Ingin rasanya aku bangkit berdiri dan teriak ke Ibu dan Bapak mertuaku, ingin rasanya aku usir mereka, tapi aku memandang mas Fadly sebagai suami yang harus aku hormati dalam keadaan apapun selama masih pantas sebagai imam. Aku mencintai mas Fadly penuh dengan perjuangan dan doa, walau derajat sosialku dibawah keluarga mas Fadly tapi dia dulu bersikeras tetap menikahiku sekalipun keluarganya tidak setuju.

     Aku melepas genggaman tangan mas Fadly, kuusap pipinya dengan lembut untuk memberikannya kekuatan walau seharusnya akulah yang harus mas Fadly beri kekuatan. Mas Fadly menoleh,menatapku, Kutangkap pancaran mata sayu dan belas kasihan terhadapku. Aku berharap saat itu juga mas Fadly memutuskan untuk menolak kemauan orang tuanya. Sebagai manusia biasa, wajar aku tidak akan rela berbagi suami dengan wanita lain.

     "Siti ..." Suara parau nya meluncur pelan.

     "Ya mas Fadly, katakanlah mas, Aku siap mendengarnya, apapun keputusan mas Fadly, aku akan belajar iklas, sepahit apapun itu mas"

     "Siti, saya harus memutuskan, sebenarnya ini sudah saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu tanpa sepengetahuanmu karena aku tidak mau kamu banyak fikiran. Siti, saya harus memutuskan untuk ..."

     Aku menatap mas Fadly dengan tatapan mata yang tersaput air mata tebal, tatapan yang ingin sebuah jawaban pasti.

     "Saya harus menurut dengan kemauan Bapak Ibu"

     Serasa seluruh tulangku lepas dari tubuhku, Antara percaya dan tidak, tapi tak perlu aku bertanya untuk kali kedua karena aku sudah cukup jelas mendengarnya sekalipun suaranya lirih. Dulu, aku menganggap kisah film dan sinetron tentang poligami adalah hal terbodoh yang dijalani para tokohnya dimana harus ada yang iklas mengikuti alur kisahnya, tapi akhirnya aku juga harus 'terlibat' secara nyata dan menimpaku. Hidup terasa sangat klise, selalu ada pengulangan dan pengulangan.

     "Baiklah mas, akupun akan menurut apa yang sudah mas Fadly putuskan. Ibu, Bapak... Aku tetap akan mempertahankan perkawinan dengan mas Fadly"

     "Baiklah Siti kalau itu keputusanmu. Soal pernikahan, akan kita persiapkan secepatnya mengingat pula Fadly dan calon istrinya sudah cukup lama dekat" Kata-kata Ibu seolah pukulan untuk kesekian kali mendarat ke hatiku yang masih terkoyak.

     "Maksud Ibu?" Tanyaku sambil beralih menatap mas Fadly.

     "Maafkan saya Siti, Saya dengan Laras sudah sekitar delapan bulan dekat tanpa sepengetahuanmu"

     Masya Allah!! Dosa apa yang aku perbuatan terhadap suamiku selama ini?Aku hanya bisa menggeleng pelan kepalaku sebagai bentuk protes keras atas kekejian suamiku sendiri yang sudah tega tidak terbuka terhadapku.

     "Mas... Aku sudah tidak bisa berfikir lagi. Aku hanya ingin belajar untuk iklas, bantu aku mas, aku ingin tetap mengabdi sebagai istrimu yang akan selalu menghormatimu sebagai imam. Ibu, kapan pernikahan mas Fadly akan dilaksanakan?"
     

     "Rencananya minggu depan, lebih cepat lebih baik, nanti akan Ibu kenalkan kowe dengan Laras" Jawab Ibu sambil tersenyum, entah itu senyuman ejekan atau puas karena apa yang jadi niatnya tercapai.

     Hari perkawinan mas Fadly akhirnya tiba, dilangsungkan di Jogja. Sudah berapa liter air mataku terbuang, bahkan saat sholat malam. Aku duduk didepan cermin rias, menatap wajahku yang pucat karena duka. Aku memoles wajah dengan bedak seadanya tapi luntur juga karena air mata yang masih saja menetes sejak semalam.

     "Siti, kamu sudah siap?" Tanya mas Fadly tiba-tiba muncul dari arah belakangku sambil mengusap bahuku lalu membetulkan jilbabku yang sedikit tak rapi.

     Aku tersenyum, "Sudah mas. Kapan berangkat?"

     "Sekarang, kita turun yuk"

     Mas Fadly menggandeng tanganku menuruni anak-anak tangga, perasaanku hancur lebur karena semakin dekat lelaki yang sangat aku cintai akan bersumpah dengan wanita lain dalam ikatan perkawinan.

     Di Mesjid, aku duduk dibelakang mas Fadly. Saat pembacaan ijab qabul, duniaku terasa runtuh. Aku tetap berusaha untuk tidak terbawa emosi. Aku menatap mas Fadly dan Laras, pasangan yang sangat serasi, tampan dan cantik, lalu aku membandingkan dengan diriku yang semakin ringkih. Orang-orang didalam mesjid melihatku dengan tatapan iba dan tidak habis fikir sampai kuat juga harus menyaksikan didepan mata sang suami menikah lagi.

     "Ya Allah, berilah hambaMu ini benteng kekuatan, berikanlah hambaMu ini jiwa yang lapang, berilah hambaMu ini rasa iklas yang benar-benar iklas ya Allah.." Aku berdoa dalam hati diantara himpitan perasaan tak menentu.

     "Mas Fadly, bahagiakanlah Laras istrimu, seperti mas Fadly membahagiakan saya. Ajari saya iklas mas karena saya wanita biasa, pasti ada saatnya berdosa tidak iklas dengan semua ini. Tuntun saya mas jadi istrimu seperti dulu, janga berubah mas Fadly.." Kataku malam itu didalam kamar saat mas Fadly datangi aku.

     "Siti, maafkan saya. Siti wanita sangat luar biasa bagi saya. Insya Allah, saya akan tetap membimbing Siti, menuntun, menjadi imam yang adil juga dalam rumah tangga kita" Suara mas Fadly pelan, ada sedikit isak dan air mata.

     "Mas, aku sudah iklas, masuklah ke kamar Laras, kasian Laras sendirian, bagaimanapun dia adalah istrimu mas, ayo pergilah kesana,jangan biarkan Laras menunggu"

     Fadly mengecup keningku, lalu meninggalkanku dalam kamar ... Sendiri dalam duka, terpasung dalam kecemburuan membuncah.

--------------------

     "Dear Diary ... Aku gagal menjadi seorang istri yang harus mengiklaskan suami tercinta membagi hidup,kasih dan cintanya terhadap wanita lain... Aku gagal menjadikan wanita itu sebagai sahabat dalam menjalani hidup rumah tangga bersama ... Keperkasaanku kalah akhirnya, ketabahanku luruh jua..
Mas Fadly, aku manusia biasa.. Jujur, aku membencimu secara perlahan..
Mas Fadly tega mengambil keputusan itu.. Sakit mas, sakit!
Jikalau keadaan berbalik, apakah mas Fadly tidak merasakan kesakitan seperti yang aku alami?
Mas Fadly, wanita mana yang ingin diberi cobaan seperti aku, tidak bisa punya anak, pesakitan?!
Aku tidak pernah memilih itu mas, aku dipilih untuk itu semua..
Aku tidak ada pilihan, aku berusaha untuk iklas, sakitpun aku iklas

Tapi .. Untuk iklas melihat orang yang aku cintai, aku teladani dan aku harapkan selalu ada disisiku kala aku didera kesepian dan jerit kesakitan, berbagi kasih dengan wanita lain? Oh, aku tak bisa..
Keputusan berpisah denganmu adalah keputusan terbaikku...

Kenapa mas Fadly tega? Apa kesalahanku mas?
Mas Fadly terlalu lemah.. Menyerah terlalu cepat..
Diary ini aku tinggal, aku pergi jangan pernah mas Fadly temui lagi
Cukup sudah derita ini.. Jika mas Fadly menemuiku mungkin akan menambah kesakitanku
Izinkan aku sendiri, merasakan kesepian tanpa imam
Lebih baik sakit dalam kesendirian daripada kesakitan ada orang yang aku sayangi dan aku sandarkan asa tapi tidak selalu ada disaat aku membutuhkan...

Semoga setelah mas Fadly membaca semua isi diary ini akan semakin menyadari bahwa akupun bisa mengambil keputusan terbaik untukku..."

--------------------------

   
 ...... 5 bulan setelah kepergian Siti, Fadly mendapatkan kabar bahwa Siti sudah berpulang selama-lamanya dalam kesendirian....
Hanya diary itulah sebagai bentuk dialog 'bisu' dari Siti untuk Fadly yang tersisa ....


Salam Hangat

- Syahrintul -
Labels:

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.